NIAT DAN PENGKHIANAT
(Dimuat di Republika)
Oleh Aan Wulandari
Melihat anak di bawah umur mengendarai
motor adalah sebuah pemandangan umum di sekitar tempat saya tinggal. Kebiasaan
berbahaya, yang sepertinya sudah dianggap biasa. Hal ini pun terjadi pada
teman-teman anak saya, Syafiq, yang berusia 12 tahun. Adalah wajar, bila dia punya
keinginan seperti teman-temannya. Saya pun berusaha membentengi, dengan sering
mengajaknya membicarakan masalah ini. Bukan seperti itu untuk bisa disebut ‘anak
gaul’. Apalagi sampai kebut-kebutan, sangat membahayakan diri sendiri, juga
orang lain.
Sebatas yang saya tangkap, si ABG itu mau
menerima yang saya katakan. Yah, walaupun saya tetap bisa memahami, dia tentu penasaran,
sehingga sekali-kali, ingin ‘mencicipi’ dibonceng temannya naik motor. Namun,
dalam bayangan saya hanya dalam jarak dekat. Misalnya, dari rumah ke tempat dia
latihan futsal yang tak lebih dari dua kilometer.
Bisa dibayangkan, betapa kagetnya, ketika
saya mendapat laporan dari gurunya, bahwa dia pernah diantar pulang sekolah oleh
temannya, naik motor! Jarak rumah-sekolah sekitar tujuh km, dan melalui jalan
raya yang cukup sering dijadikan sasaran operasi polisi. Pun, jalannya
berkelak-kelok tajam, dengan tanjakan yang cukup curam. Di jalan ini, sering
terjadi kecelakaan. Baik truk, bis, apalagi motor.
Saya coba membicarakan hal ini bersamanya.
Reaksinya membuat saya terkejut. Dia berkata, “Aku enggak suka sama anak itu.
Dia suka mengadu. Senang kalau temannya dimarahi. Pengkhianat!"
“Pengkhianat?! ” Hati saya tak karuan. Kenapa
seperti itu yang ada dalam pikirannya?
"Dia tidak setia sama teman. Sering
melaporkan kalau ada teman yang bertengkar, ada yang membawa hape, dan lainnya.
Pokoknya biar mendapat pujian, dan puas kali kalau temannya dimarahi."
Sepertinya ada salah pengertian dalam
mengartikan pengkhianat. Namun, belum sempat saya kemukakan, dia menjelaskan
alasan dibonceng temannya. Hari Jumat adalah jadwal les. Dia harus sampai di
rumah pukul tiga. Tapi, bis yang ditunggu tak kunjung datang. Ketika temannya
menawari untuk naik motor, akhirnya dia pun mengiyakan.
“Demi les, kok, Ma,” katanya meyakinkan.
Yah, sebenarnya ada sebersit rasa tak
percaya. Tapi, apa gunanya mengungkapkan rasa tak percaya ini padanya?
Alih-alih hanya membuatnya sakit hati. Saya pun hanya meminta dia untuk
berjanji tak mengulanginya lagi. Saya katakan kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi. Bagaimana bila celaka di jalan? Bagaimana bila ditangkap polisi? Bagaimana
bila menabrak orang? Dan saya tegaskan, bahwa saya melarangnya adalah karena
saya menyayanginya.
Napas panjang menjadi jeda, untuk
mengalihkan pembicaraan, dan membahas masalah ‘pengkhianat’ tadi. Tak
seharusnya dia menuduh temannya seperti itu. Saya contohkan yang namanya
pengkhianat, dengan mengambil seting saat zaman kemerdekaan. Pengkhianat adalah
apabila dia membocorkan rahasia pejuang kepada musuh. Jadi, temannya tidak bisa
disebut pengkhianat. Lagipula, belum tentu temannya berniat jelek dengan
melaporkan anak saya pada guru sekolah. Niat ada di dalam hati, dan kita tak
tahu yang dia niatkan. Bisa jadi, niatnya baik, tak ingin anak saya celaka.
Bukan karena sirik atau ingin anak saya dimarahi.
Wajah anak saya tampak menyiratkan rasa tak
terima, melihat temannya yang melaporkan itu saya bela. Saya juga tidak
memungkiri, ada kemungkinan, temannya memang mempunyai sifat 'senang kalau
temannya dimarahi'. Perlu waktu bagi dia untuk bisa menerima, bahwa temannya
bukanlah pengkhianat. Saya tegaskan kembali, bahwa kita tak boleh berprasangka
buruk. Dia hanya mengangguk. Tak ada yang bisa saya lakukan lagi, selain
berdoa, semoga Allah melembutkan hatinya, menerima semua ini.
Pembaca yang ingin menuliskan pengalaman
mendidik anak melalui rubric Buah Hati, silakan mengirim naskah 2.500 karakter
berikut foto, ke email leisure@rol.republika.co.id
salaam kenal Mbak, maaf nanya nih (maklum orang baru), masalah yang mirip juga sering dialami anak saya, maklum mulai ABG, tanya:
BalasHapus. postingan ini yang keluar di Republika? maaf saya gak langganan.
. boleh ya, setelah terbit diposting di blog?
makasih
Salam kenal mba vetri, iya tulisan ini yang dimuat di Republika. Boleh- boleh saja mbak diposting di blog setelah terbit, asal jangan pada saat majalah/korannya baru terbit, biar pembaca mencari dulu medianya. Kalau sudah agak lama, boleh diposting di blog sekalian arsip penulisnya. :)
BalasHapus