Kamis, 31 Oktober 2013

Monster Menyeramkan Itu Bernama Sampah


Aku berdiri terpaku didepan bak pembakaran itu. Asap putih mengepul di atasnya. Dengan niat melatih kesabaran, kali ini kutunggui proses pembakaran sampah di bak yang memang sengaja dibuat sebagai penampung sampah sekaligus sebagai tempat pembakarannya. Beruntung, pikirku. Pemilik rumah sebelum kami telah membuat bak sampah yang lumayan besar ini. Aku tak perlu lagi mengemas sampah untuk dibawa ke tempat penampungan sementara (TPS) di sebelah pasar tradisional di daerah kami. aku mengalami sedikit kesulitan kali ini, karena timbunan sampah di depanku ini semalam teguyur hujan. Yah, tentu saja api susah menyala. Paling menyala sebentar di sampah kertas yang sengaja kubakar duluan, menjalar ke bagian sampah di kanan kirinya sebentar, lalu mati. Berulangkali mencoba, tetapi hal yang sama terjadi. Akhirnya kuputuskan untuk mengerjakan hal lain, dengan harapan siang nani timbunan sampah akan kering oleh sinar matahari (semoga tidak hujan) dan sorenya siap dibakar.


 Mengapa harus dibakar? Kalau di sekitar tempat tinggalku (desa) membakar sampah sudah jadi hal biasa dalam memperlakukan sampah. Biasanya setelah bersih-bersih rumah, sampah dikumpulkan di suatu tempat (kalau di rumah saya ya bak tadi), lalu langsung dibakar di sore hari atau pagi hari. Asap yang timbul dari pembakaran pun sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Polusi? Ya begitulah.... Tapi, kebiasaan di desa ini jika kita renungkan sebenarnya merupakan salah satu cara meng”akhirkan” perjalanan sampah yang lumayan praktis.

Membakar sampah berperan mengurangi problema penumpukan sampah di muka bumi ini. Walau memang resikonya terjadi polusi udara. Tapi itu tak lama, dan tak terlalu jadi masalah bagi masyarakat kami, asalkan saat membakar diusahakan pas waktu arah anginnya tepat. Ya di sore/malam dan pagi hari tadi di saat angin bergerak terarah dan cepat (menurut beberapa tetangga) artinya asap tidak ngendon muter-muter saja sehingga mengganggu rumah warga sekitar. Seperti kasus pembakaran sampah di depan rumah kontrakan saya (sebelum rumah sekarang), dimana seorang tetangga sering membakar sampah di dekat halaman depan rumah kami di siang hari, sehingga kami selalu mendapatkan kiriman paket asap yang lancang masuk hingga ke bagian dapur, terjebak di dalam rumah dan nggak keluar-keluar dalam waktu lama. Hingga akhirnya aku protes pada tetangga ybs. karena kasihan sama anak2 yang harus menghisap asap yang ngendon hampir satu jam-an lah di dalam rumah.

Oke, jadi membakar sampah mau tak mau memang manjadi salah satu solusi mengakhiri masa perjalanan sampah. Adakah cara penanggulangan sampah yang lain? Jawabannya tentu saja ada, bahkan telah menjadi sebuah gaya hidup di sebagian besar masyarakat dunia terutama yang tinggal di perkotaan. sebagimana saya saat sebelum kembali ke desa, kami sekeluarga tinggal di perumahan yang sistem pembuangan sampahnya telah terorganisir. Artinya, kami tinggal membungkus sampah dan meletakkannya di depan rumah, maka sampah akan diambil oleh truk sampah yang lewat berkeliling perumahan. Sangat praktis kan? hilang sudah onggokan sampah dari sekitar perumahan. Besoknya ya seperti itu lagi, sampah ambil oleh truk sampah yang berkeliling, besok akan seperti itu lagi dan lagi hingga waktu yang entah sampai kapan. Truk sampah itupun tak hanya mengambil sampah dari perumahan kami, tapi juga dari perumahan-perumahan lain. Gratis? Ya nggak lah, kami membayar tukang sampahnya setiap bulan sekali. Dan sepertinya itu impas, asalkan sampah pergi dari depan mata.

Pertanyaannya sekarang, bungkusan demi bungkusan sampah dari seluruh rumah di perumahan ini, juga dari perumahan lain tersebut diangkut kemana oleh armada truk sampah itu? Masa nggak tahu? Ya tentu saja ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). lalu di TPA sampah diapakan? Bukankah akan bertambah setiap waktu? Jika dibiarkan saja apa nggak akan jadi gunung sampah? Lalu akan setinggi apakah timbunan sampah -sampah tersebut jika tak dimusnahkan (dibakar)?.

Kenyataannya memang di TPA sampah menggunung, mau dibakar? Wah, rasanya akan mengakibatkan polusi udara berupa asap yang akan melayang kemana-mana yang akibatnya mungkin tidak ringan. Tentu sangat berbeda keadaannya dengan membakar sampah per rumah tangga. Keberadaan TPA sendiri sering menjadi polemik bagi warga yang tinggal berdekatan dengan TPA tersebut. Contohlah warga Bantar Gebang, TPA Cipayung, dan beberapa TPA lain. Bau menyengat, kuman penyakit yang subur berkembang biak, pemandangan tak sedap, gas metana yang beracun yang dihasilkan dari timbunan sampah organik/sampah basah, lahan penampung yang butuh perluasan. Ya, siapa sih yang mau hidup berdampingan dengan timbunan sampah? Tentu suatu saat mereka akan menjerit, merasa tidak adil dipersandingkan dengan timbunan sampah dari seluruh penjuru kota.

Oke, itu tadi gambaran di TPS atau TPA. Masih ada cara memperlakukan sampah oleh masyarakat yang sangat berbahaya bagi manusia itu sendiri, yaitu membuang sampah di sungai. Seperti di desaku dan sekitarnya, selain membakar sampah, sebagian masyarakat membuang sampah sehari-harinya ke sungai terdekat. Apalagi sungai yang letaknya di dekat pasar. Ini berbahaya sekali jika musim penghujan tiba. Selain karena banyaknya kasus penebangan hutan, penimbunan sampah di sungai juga turut andil menghasilkan bencana banjir. Sebetulnya masyarakat kita enggan diberi tahu, atau sebenarnya sudah tahu tapi pra-pura tidak tahu? Saya masih sering melihat timbunan sampah di sisi kaan kiri aliran sungai, baik di kota atau desa. Memprihatinkan... berita bencana banjir di tempat lain sepertinya tak membuat mereka khawatir jangan-jangan daerah mereka juga kan mengalami banjir gara-gara sampah di sungai. Atau, justru daerah mereka sudah akrab dengan kejadian banjir?

Menurut dari sumber yang kubaca, saat ini telah ada beberapa upaya memanfaatkan sampah menjadi produk yang bisa dimanfaatkan, contohnya: limbah elektronik menghasilkan emas, sampah plastik disulap jadi BBM, sampah basah dibuat pupuk kompos, sampah plastik disulap menjadi tas, dompet, dll. upaya ini sepertinya mutlak dilakukan sebagai salah satu cara mengurangi timbunan sampah di muka bumi. Sebenarnya ada juga teknologi modern untuk membakar sampah yang disebut inceneration, tetapi cara ini menimbulkan efek samping yaitu muncul masalah lingkungan, yaitu adanya dioksin yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatanseperti kerusakan sistem kekebalan tubuh, kanker gangguan reproduksi, dan lain-lain. Juga dibutuhkan investasi yang yang sangat besar, tekonologi yang rumit dengan nilai ekonomi minim. Di negara maju pun penggunaannya masih dibatasi.

Jadi, pengolahan dengan cara apakah yang paling ampuh dan cepat dalam menanggulagi sampah dunia agar tidak makin menumpuk dan mengisi setiap ruang di bumi kelak? Kucoba browsing, baca-baca tentang tekonologi pengolahan samapah. Di Jepang, sebuah universitas yaitu Tokyo Institute of Technology memperkenalkan teknologi Hydrotermal yang dinamakan RSS (Resource Recycling System) yaitu pengolahan sampah dengan memanfaatkan tekanan dan uap suhu tinggi (30 atm,200 derajat celcius) yang lebih ramah lingkungan, relatif sederhana teknologinya. Oke, tentang RSS ini akan aku bahas lain kali saja, yang jelas ada harapnan baru dalam upaya pengolahan sampah yang cepat dan ramah lingkungan.

Walau begitu, upaya pengolahan sampah di tingkat rumah tangga tetap perlu dilakukan, yaitu memilah sampah basah dan sampah kering (sampah organik dan non organik), untuk kemudian dibuat kompos bagi sampah basah, sedangkan sampah kering bisa dimanfaatkan kembali atau didaur ulang, atau jika ingin praktisnya bisa dijual ke tempat penampungan untuk jenis sampah tertentu seperti kertas, plastik, dan logam, untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memerlukan. Lalu sampah kering yang tak memungkinkan dimanfaatkan atu dijual lagi? Sejauh ini untuk sampah seperti itu saran saya adalah, dibakar saja asal memilih waktu yang tepat sehingga polusi tak terlalu mengganggu tetangga sekitar.

Mungkin memang cara seperti inilah yang paling bijaksana dalam memperlakukan sampah meski memang akan sedikit ribet dan perlu ketelatenan bagi kita. Tapi jika kita mau merenung, memilah dan memanfaatkan kembali sampah-sampah tersebut adalah cara paling tepat dan menguntungkan. Dari sampah basah kita mendapatkan pupuk gratis, yang akan menyuburkan tanah, dari sampah kering kita mendapatkan barang baru yang bisa dimanfaatkan lagi atau mendapatkan uang dari pembayaran sampah kering yang kita jual, juga sumbangan kita kepada lingkungan akan sangat berpengaruh di kemudian hari demi anak cucu kita, jika semua tingkat rumah tangga melakukan hal yang sama.

Mungkin ada yang protes, di rumah nggak punya halaman yang memungkinkan membuat lubang pembuatan kompos, tak ada waktu memilah-milah karena terlalu sibuk, lebih baik membayar petugas sampah daripada ribet, toh nanti para pemulung akan memilah-milah dan mencari sendiri barang yang mereka butuhkan di TPS atau TPA. Ya, saya pikir pilihan mengirim sampah ke TPS atau TPA harusnya menjadi alternatif terakhir, walau prakteknya justru cara tersebut sepertinya menjadi pilihan mayoritas penduduk dunia. Hmmm... sampah satu perumahan ditimbun di suatu temapat, ditambah dari perumahan lain, ditambah dari perkampungan, di tambah dari kecamatan lain, ditambah daritemapt-tempat lain, satu hari... dua hari... sepuluh hari... setahun.... alamaaaak! Sudah berupa apakah sampah-sampah yang kita kirim tersebut?  berupa bukit? gunung? atau piramid? atau candi? Dan seluruh dunia melakukan hal yang sama? betapa suatu hari nanti sembilan puluh persen bumi akan terisi oleh sampah dan sampah hingga apa yang digambarkan tentang bumi dalam film “Wall E” akan benar-benar terjadi? Haruskah anak cucu kita hijrah ke planet lain?

Tiba-tiba saya tersadar, bahwa selama ini belum banyak andil dalam menyelamatkan lingkungan dari bahaya sampah. ketika di rumah kontrakan sampah saya buang di TPS tanpa memikirkan nasib sampah itu selanjutnya. Lalu di rumah yang baru, sampah asal saya bakar tak peduli sampah kering atau sampah basah. Secara praktisnya membakar sampah yang saya lakukan memang mengurangi timbunan sampah di TPS atau TPA, tetapi mungkin akan lebih bijak jika sampah dipilah dulu agar manfaatnya lebih maksimal.

Oke... setelah ini saya berencana untuk membuat lubang khusus untuk membuang sampah basah/organik agar bisa berubah jadi kompos, menyumbang kesuburan bagi tanah walau tak begitu banyak. aoa yang kita lakukan walau kelihatannya sepele, namun dengan jiat yang baik semoga membawa manfaat bagi diri kita sendiri, lingkungan, dan anak cucu kelak. Toh, berbuat baik itu berpahala kan? Mari berbuat, demi masa depan bumi kita tercinta, agar anak cucu kita tak kelak tak meninggalkan kita hijrah menuju planer Mars... Setuju?


@Sebuah tulisan hasil renungan saat membakar sampah di antara sejuk yang tertinggal setelah hujan menyapa ( Ella Sofa, 27 Oktober 2013)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar