Pemenang 3 Lomba
Menulis tema “membaca” Kompas Media 2011 karya Dini Lestari (@diniluddy)
“Pergi sana . Kau bukan ibuku,”
seru Malin Kundang pada wanita tua yang berpakaian compang-camping itu.
“Malin, aku
ini ibumu. Aku yakin kau adalah anakku,” ucap wanita itu sambil menangis.
Tangannya mencoba memegang tangan Malin Kundang. Malin Kundang semakin murka.
Ditepiskannya dengan kasar tangan wanita tua itu.
“Hahaha….
Tidak mungkin saya mempunyai seorang ibu yang miskin seperti kamu. Jangan
permalukan aku di hadapan permaisuriku dan pengawal-pengawalku. Kamu paling
hanya menginginkan hartaku saja, sehingga mengaku sebagai ibuku,”
Wanita itu
menjadi sangat sedih.
“Oh Tuhan,
dia sungguh keterlaluan. Kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah
batu”. Tidak berapa lama kemudian angin kencang bertiup diiringi badai dahsyat
menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan
menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu.
----------------------
Cerita Malin Kundang yang kuperoleh
dari wikipedia ini kubacakan di hadapan anakku. Cerita yang merupakan salah
satu warisan budaya asal daerah Sumatra Barat ini,
berakhir dengan sad
ending. Si anak menjadi batu,
sedangkan ibunya tetap teramat sangat berduka telah kehilangan anak
kesayangannya.
Meskipun telah kubacakan cerita itu
dari awal hingga akhir, Nabil, anakku, yang berusia empat tahun, tak cukup
paham dengan cerita tersebut. Rasa
keingintahuannya memunculkan sederet pertanyaan kepadaku.
“Malin Kundangnya kok jadi batu kenapa, Bu?” tanyanya kepadaku.
“Ibunya berdoa agar Malin Kundang
jadi batu. Doa ibunya dikabulkan, Malin Kundang jadi batu seperti doa ibunya,”
jawabku.
“Bu, kenapa ibunya berdoa Malin Kundang biar jadi batu?” tanyanya lagi.
“Malin Kundang tidak nurut sama
ibunya,” jawabku dengan bahasa yang sekiranya bisa dia terima. Aku pun ingin
amanat cerita tersebut tetap
tersampaikan dengan baik kepada anakku. Tapi, tampaknya anakku itu belum puas
dengan jawabanku.
“Bu, kok Malin Kundang tidak nurut sama ibunya, kenapa?” tanya Nabil lagi. Aku terdiam sejenak, berfikir bagaimana
cara menjawabnya. Pertanyaan ini tentu
saja jawabannya sangat filosofis. Kepentingan Malin Kundang, berbeda dengan
kepentingan ibunya. Ibu Malin Kundang mengharapkan cinta dari seorang anak yang
telah dilahirkannya, tetapi Malin Kundang mengutamakan kenikmatan yang telah
dia peroleh sebagai orang kaya. Tentunya, pasti anak usia TK tidak akan
mengerti perbedaan kepentingan ini.
“Malin Kundang sudah jadi orang
kaya, duitnya banyak. Ibunya, tidak punya uang. Jadi, Malin Kundang-nya malu.”
Aku berusaha menjelaskannya, berharap Nabil mengerti. Namun. wajah Nabil masih
berkerut. Itu pertanda bahwa dia belum puas dengan jawabanku. Aku deg-degan menunggu
pertanyaannya berikutnya.
“Malin Kundang sudah jadi orang kaya, kok malu kenapa?” tanyanya penuh selidik. Kepalaku mulai berdenyut. Mending
mengerjakan soal psikotes deh, pikirku. Seratus soal sekalipun, tidak masalah
buatku, dibandingkan satu soal yang sulit kujawab dari bocah kecil ini.
Meskipun sulit, aku tetap harus memberikan jawaban padanya.
“Harusnya Mas Nabil, Malin Kundang
itu tidak boleh malu …..,” jawabku mencoba meralat ucapanku.
“Iya, tapi ini Malin Kundangnya, malu ….kenapa?” tanyanya lagi menegaskan,
seolah tidak sabar menunggu jawabanku.
“Begini Mas Nabil, ibunya Malin
Kundang tidak punya uang. Ini sama seperti Mas Nabil! Kalo ibu tidak punya
uang, Mas Nabil kan
tidak bisa beli jajan. Padahal, teman-temannya Mas Nabil pada beli jajan. Mas
Nabil sedih, tidak?” Aku berharap dia paham penjelasanku dengan memberikan
contoh konkret tentang dunia anak-anak yang dihadapi oleh Nabil sendiri. Jika
jawabannya, iya, maka berakhirlah
intrograsinya kepadaku. Karena berarti dia juga mengalami seperti yang
dirasakan oleh Malin Kundang.
“ Tidak, Nabil tidak sedih, kok!”
jawabnya.
“Mas Nabil nggak malu sama temen-temen kalo Mas Nabil tidak bisa beli jajan?”
kali ini aku yang bertanya pada Nabil. Aku ingin tahu alasannya menjawab tidak.
“Nggak.”
Ujarnya lagi. “Bu, kan ibu bilang, Nabil tidak boleh banyak jajan.
Kalo jajan terus, nanti uang Ibu habis. Trus kalo uang ibu habis, Ibu gak bisa bayar sekolahnya Nabil.”
Darahku berdesir mendengar ucapannya. Ucapannya ini adalah ucapanku beberapa
waktu yang lalu saat dia rewel minta jajan. Dia hanya menirukan ucapanku yang
ternyata berbekas dalam batinnya. Kutahan air mataku agar tak menetes. Tentu
saja aku tak berharap dia seperti Malin Kundang terhadap ibunya. Meskipun aku
banyak melihat “Malin Kundang-Malin Kundang” di zaman modern ini.
“Iya, Mas Nabil tidak boleh malu,”
ucapku lirih padanya.
“Tapi, Malin Kundang malu kenapa, Ibu?” tanyanya sambil
bergelanyut, memegang erat bahuku. Tiba-tiba pikiranku menerawang menembus
zaman. Kubayangkan andai Malin Kundang pernah hidup di zamannya, Zaman yang
minim pengetahuan karena belum mengenal tradisi tulisan. Nilai-nilai ditanamkan
melalui lisan dan perilaku, tetapi ruang lingkupnya sangat sempit, hanya
terbatas mengenai daerahnya saja.
“Mas Nabil kan anak pintar, jadi Mas Nabil tidak malu.
Kalau Malin Kundang itu bodoh, jadi dia malu ibunya tidak punya uang,” jawabku
menyederhanakan jawaban yang sesungguhnya begitu kompleks untuk menjelaskan
sikap malunya Malin Kundang.
“Bu! Bu! Malin Kundang kenapa bodoh? Malin Kundang sekolah
tidak?” tanyanya lagi dengan kata tanya yang khas gaya Nabil, kenapa. Aku memandang wajah polos anakku yang sedang duduk sambil
tangannya memainkan buku-buku di sebelahnya.
“Malin Kundang bodoh karena dia
tidak mau belajar. Malin Kundang malas baca buku. Padahal, kalau Malin Kundang rajin baca buku
bisa tahu banyak hal. Mas Nabil juga tahu ikan-ikan di dalam laut dari buku.
Dengan baca buku, Mas Nabil juga tahu tentang kehidupan burung dan hewan-hewan
lain. Malin Kundang tidak pernah baca buku, jadi Malin Kundang tidak tahu kalau
jadi anak itu, harus nurut sama orang tuanya. Kalau tidak nurut, Ibunya marah,
Allah juga pasti akan marah. Trus ….. ”
“Oh, iya, aku tahu. Malin Kundang
jadi batu, deh.” Ujarnya menyimpulkan. “Berarti, kalau Malin Kundang rajin baca
buku, Malin Kundang pasti tidak akan jadi batu ya, Bu,”
Senyum Nabil mengembang. Alisnya tak lagi
dikerutkan. Tampaknya, Nabil setuju dengan penjelasanku yang terakhir. Aku
merasa lega melihat senyumnya yang lucu. Tangannya yang kecil membolak-balikan
buku bergambar yang dipegangnya. Meskipun belum bisa baca, ketertarikannya pada
buku sudah mulai tampak.
“Bu, ceritani lagi ya, Bu . Yang
lain lagi.” katanya sambil menyerahkan buku yang dia pegang. Aku bersemangat menyambutnya. Dalam hati aku
berjanji bahwa aku tak akan takut lagi akan pertanyaan-pertanyaannya karena
dengan itu, aku berkesempatan menyampaikan pesan-pesan indah kepadanya. Dia harus banyak baca buku. Aku juga harus
mengimbanginya dengan banyak baca buku pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar