Kamis, 31 Oktober 2013

GURU, LENTERA YANG MEMBEBASKAN


oleh Keisya Avicenna

Saya bangga menjadi guru. Profesi menjadi seorang guru adalah profesi yang ‘menantang’. Meskipun ada sebagian orang yang beropini berprofesi menjadi seorang guru adalah suatu pekerjaan yang enteng. Karena sekilas, tugasnya hanya mengajar dan mengajar. Akan tetapi, sejatinya seorang guru tidaklah hanya bertugas mengajar di dalam kelas. Seorang guru juga dituntut untuk bisa memberi contoh kepada murid-muridnya tanpa harus melihat siapa dan di mana ia berada. Untuk itu, tidak keliru jika ada pepatah yang mengatakan: “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Dalam artian, sebagai seorang guru harus senantiasa memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu sebelum memperbaiki orang lain (baca: anak didik).


Nah, betapa pentingnya keteladanan seorang guru! Saya bangga menjadi seorang guru karena saya bisa terus memotivasi diri sendiri untuk melakukan perbaikan diri secara kontinyu. Bagaimana kita mengajarkan kebaikan kalau diri kita sendiri belum baik? Bagaimana kita mentransfer ilmu kalau otak kita miskin ilmu karena malas untuk belajar?

Jika seorang guru sudah memberi contoh yang baik, maka dengan sendirinya seorang murid akan malu untuk tidak mencontohnya. Ketika seperti inilah kharismatik seorang guru akan tumbuh dengan sendirinya tanpa harus diminta. Karena hubungan emosional antara guru dan murid sangat berpengaruh atas pembentukan karakter anak didik. Kekharismatikan tidak harus dibangun dengan menjaga jarak dengan murid. Jika antara guru dan murid ada jarak emosional, maka hal itulah yang dapat mematikan kreativitas dan spontanitas anak didik dalam berbagai kegiatan.

Ngomong-ngomong soal pendidikan nih! Pendidikan merupakan upaya dari manusia untuk dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam rangka memenuhi kelangsungan hidupnya, yang tidak akan dapat berarti apabila tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar-mengajar, baik di jalur pendidikan formal, informal maupun nonformal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, guru tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi mereka.

Filosofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah diposisikan mempunyai peran ganda bahkan multifungsi. Mereka dituntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang tua kedua, setelah orang tuanya di rumah. Betapa luar biasanya menjadi seorang guru!

Permasalahan yang muncul di negeri ini terutama dalam ranah pendidikan, bangsa ini memang sedang dilanda degradasi moral. Bangsa ini butuh dan kekurangan figur teladan yang baik. Jarang kita menemukan seorang figur yang bisa menginspirasi bawahannya (baca: muridnya) untuk memiliki kesadaran hidup menuju ke arah yang lebih baik. Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa guru yang baik adalah mereka yang bisa mengajar para muridnya menuju perubahan tingkah laku yang lebih baik.

Di dunia ini hanya ada 2 profesi, yaitu guru dan bukan guru. Kita boleh kagum pada seorang dokter ahli yang mampu menyembuhkan penyakit yang kritis, juga sangat kagum kepada yang merancang sebuah jembatan panjang dengan tingkat kesulitan tinggi. Pertanyaannya, kehebatan orang-orang tersebut apakah terlepas dari peranan seorang guru? Banyak cerita tentang keberhasilan seorang anak akibat guru yang hebat, namun banyak cerita juga tentang kegagalan karena guru salah didik. Kegagalan Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, Stephen Hawking dan sebagainya di sekolah, dia bayar melalui belajar sendiri, dia menjadikan alam dan ilmu sebagai gurunya.

Pentingkah seorang guru? Penting! Tapi guru yang mana? Yang jelas tidak ada tempat bagi guru yang “kecelakaan”, yaitu guru yang hanya manjadi guru sekedar mendapatkan pekerjaan. Namun, seorang guru profesional adalah guru dengan panggilan nurani, panggilan jiwa. Mungkin pada awalnya tidak sengaja jadi guru, namun jika yang bersangkutan dengan cepat menyadari akan pentingnya peran dia sebagai guru, lalu ia bangun paradigmanya, dan dengan nurani ia melangkahkan kaki ke hadapan anak-anak didiknya. Inilah guru yang dicari, ditunggu, dipuja, dan disayang sepanjang masa. Hal inilah yang terus memotivasi saya ketika memilih “jalan” dan profesi ini. Bassic keilmuan saya adalah scientist. MIPA murni, dan bukan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Tapi profesi menjadi seorang pengajar menjadi salah satu impian dan cita-cita saya pasca kampus. Bismillah, akhirnya saya memutuskan dan mengambil pilihan untuk mengajar di bimbingan belajar. Seperti terhipnotis oleh sebuah kalimat motivatif, “Menjadi Guru atau Tidak Sama Sekali”. Hehe...

“Menjadi guru adalah pilihan yang berani. Berani jadi guru, harus berani pula menjalani segala konskuensinya. Apabila mampu menjalaninya secara konsisten, jalan ke syurga akan menunggu, jika tidak, bahaya menghadang!” Kalimat ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengangkat kembali pamor guru yang mulai memudar. Dan kalimat itulah yang mampu memotivasi saya untuk memantabkan hati di profesi ini.

Apakah hanya orang-orang yang berlatar belakang pendidikan dari Ilmu Kependidikan dan Keguruan saja yang boleh jadi guru? Idealnya memang begitu, tapi tunggu dulu! Pada dasarnya setiap manusia ditakdirkan menjadi guru bagi generasi penerusnya. Namun banyak di antara kita yang tidak menyadari hal ini, bahkan yang sudah memilih profesi jadi guru pun banyak yang tidak menyadari hal ini, sehingga dia menyia-nyiakan kesempatan berharga dalam hidupnya. 

Saya bangga menjadi guru, karena saya pernah membaca sebuah opini yang menyatakan bahwa “Guru adalah profesi yang paling terhormat”. Ketika para arsitek jembatan, ahli biologi tanah, dokter bergelimang kotoran dan penyakit karena lahan pekerjaanya di situ, maka betapa bahagianya seorang guru yang memiliki lahan pekerjaan pada otak manusia. Otak adalah karunia tertinggi yang dimiliki manusia, dan otak juga di antara beberapa kekuatan maha dahsyat yang dimiliki manusia. Kita wajib bersyukur dengan menjadi guru.

Salah satu cara untuk mensyukurinya adalah “konsisten” pada amanah sebagai pendidik. Tujuan kita mendidik anak adalah agar anak-anak tumbuh menjadi manusia yang cerdas, berilmu pengetahuan, dan berakhlak mulia. Ukuran keberhasilan mendidik adalah terjadinya perubahan perilaku anak dari tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, dan tidak terbiasa menjadi terbiasa, sesuai dengan apa yang kita inginkan bersama. Artinya, tugas guru dianggap “selesai” setelah terjadi perubahan perilaku pada anak kearah yang lebih baik. Lalu, apakah dengan menyusun silabus, RPP, mengisi daftar hadir dan menuntaskan materi dapat menjadi ukuran bahwa guru yang bersangkutan telah menjalankan tugas? Jawabannya belum! 

Jika ukuran keterlaksanaan tugas sebagai guru hanya diukur dari aspek administrasi semata, berarti baru sebagian tugas yang selesai, yaitu tugas administratif, sedangkan tugas sebagai edukator, belum. Ingat, jika terjadi kesalahan dalam administrasi, kita dapat menghapus dan mengganti dengan yang baru, namun jika terjadi kesalahan dalam mendidik, kita tidak mampu menghapusnya, itu artinya kita bermimpi mengembalikan umur ke kondisi semula.

Sosok Nabi Muhammad SAW kiranya bisa dijadikan contoh bagaimana agar kita menjadi guru panutan (teladan). Nabi Muhammad SAW merupakan sosok yang digugu dan ditiru. Nabi Muhammad SAW bisa menjadi sumber inspirasi dan teladan bagi para sahabat-sahabatnya. Bahkan sampai kini pun Nabi Muhammad SAW merupakan panutan yang belum ada tandingannya. Maka kepada beliaulah kita harus meneladani. Dengan demikian, kita bisa menjadi guru teladan bagi anak didik kita seperti halnya Nabi Muhammad SAW menjadi teladan bagi sahabat-sahabatnya serta umatnya.

Wahai para pahlawan tanda jasa, BANGKIT dan BERSEMANGATLAH! Kemajuan bangsa Indonesia salah satunya karena kontribusi kita. Karena guru adalah “lentera yang membebaskan”! Semoga Allah SWT senantiasa memudahkan dan meridhoi setiap langkah-langkah kita. Aamiin.

Wallahu a’lam bishowab.


ALASAN SAYA MEMILIH GURU SEBAGAI PROFESI:

1.      “Sampaikanlah walau satu ayat!”
Aktifitas menjadi seorang pendidik tentu saja dituntut untuk bisa mentransfer ilmu dengan baik, menyampaikan kebaikan dan tidak ada pengajaran yang diberikan kecuali kebermanfaatan.
2.    Menjadi pribadi yang kaya. Kita akan mampu memberi jika kita sudah memiliki. Kaya hati, kaya ilmu, dan kaya amal. Untuk kaya harta, itu bonus dari Allah SWT.
3.      Menjadi pribadi IPK. Inspiratif, Prestatif, dan Kontributif
4.      Sebagai ladang amal dan ladang dakwah.
Jika profesi mulia ini mampu dijalani dengan ikhlas dan sepenuh hati semoga bisa menjadi pemberat timbangan amal kebaikan dan mengantarkan ‘sang pelaku’ ke surga-Nya. Amin.
5.      Ingin menjadi “sebaik-baik manusia” karena sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya.
6.      Sebuah upaya perbaikan diri yang kontinyu, karena Guru: diGUgu dan ditiRU
7.      Belajar untuk menerapkan prinsip hidup dari Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karso, Tut Wuri Handayani”. Di sini tampak jelas bahwa guru memang sebagai “pemeran aktif”, dalam keseluruhan aktivitas masyarakat di bidang pendidikan secara holistik (menyeluruh). Tentunya para guru harus bisa memposisikan dirinya sebagai agen yang benar-benar membangun, sebagai pelaku propaganda yang bijak dan menuju ke arah yang positif dalam dinamika pendidikan yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini.
8.      Surga is never ending spirit! Yups, motivasi terbesar dalam setiap aktivitas kita bukanlah motivasi duniawi saja tapi lebih ke motivasi akhirat, yaitu mendamba surga-Nya!
9.      DNA: Dream ‘N Action. Berawal dari impian saya menjadi seorang guru, kemudian aksi nyatanya Alhamdulillah bisa saya wujudkan. Dan itu artinya saya harus senantiasa melakukan perbaikan diri secara kontinyu, menjadi pribadi yang berkarakter kuat dan cerdas serta amanah.
10.  Memperkaya tali silaturahim.
11.  Mampu menumbuhkan/menanamkan kecerdasan emosi, intelektual, dan spiritual yang mewarnai aktivitas hidup saya.
12.  Mampu menumbuhkan kemampuan berfikir kritis melalui pelaksanaan tugas-tugas pembelajaran.
13.  Mampu menumbuhkan kebiasaan untuk memanfaatkan dan mengisi waktu dengan sebaik-baiknya.
14.  Berusaha menjadi agent of change (agen perubahan), merubah pola pikir, sikap dan perilaku umat manusia menuju kehidupan yang lebih baik, bermartabat dan mandiri.
15.  Belajar menjadi “guru masa depan” yaitu guru yang mau dan mampu mendayagunakan seluruh potensi internal maupun eksternal secara optimal untuk mencapai tujuan pendidikan.

TIPS MENJADI GURU TELADAN:
1.      Memiliki karakter yang kuat sebagai seorang pendidik. Bisa ditinjau dari 4 aspek: komitmen, kompeten, kerja keras, dan konsisten dalam mengemban amanah serta mampu memberikan keteladanan dari aspek: kesederhanaan, kedekatan, dan pelayanan maksimal.
2.      Cerdas: intelektual, emosional, dan spiritual.
3.      Bekerja keras dengan penuh pengabdian. Menjadi guru teladan itu butuh PERJUANGAN, PENGORBANAN, dan TOTALITAS!
4.      Guru teladan adalah guru yang “COMFORT”:
C = Carring = Peduli
O = Observant = Perhatian
M = Mindfull = Cermat/ teliti
F = Friendly = Ramah
O = Obliging = siap sedia/ tanggap
R = Responsible = bertanggung jawab
T = Tackfull = bijaksana
5.    Menjadi guru teladan adalah pencapaian maksimal dari sebuah prestasi dalam menjalani suatu profesi! Jadi, mulailah terlebih dulu dengan membangun motivasi internal. Karena BERPRESTASI adalah DAKWAH! Mungkin satu hal ini bisa menjadi motivasi.
6.     Guru teladan adalah guru yang cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlaknya, dan kuat fisiknya. Karena dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam; dengan akhlak yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya; dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak didiknya

*Keisya Avicenna, guru di Istana Belajar DNA College


1 komentar:

  1. dan guru yang mengajar dengan hati, ilmu dan cintanya tertanam di hati dan otak anak didiknya hingga lamaa sekali..hiks..kangen my teachers..

    BalasHapus