Jumat, 22 Maret 2013

Dimuat di Republika



NIAT DAN PENGKHIANAT
(Dimuat di Republika)
Oleh Aan Wulandari


Melihat anak di bawah umur mengendarai motor adalah sebuah pemandangan umum di sekitar tempat saya tinggal. Kebiasaan berbahaya, yang sepertinya sudah dianggap biasa. Hal ini pun terjadi pada teman-teman anak saya, Syafiq, yang berusia 12 tahun. Adalah wajar, bila dia punya keinginan seperti teman-temannya. Saya pun berusaha membentengi, dengan sering mengajaknya membicarakan masalah ini. Bukan seperti itu untuk bisa disebut ‘anak gaul’. Apalagi sampai kebut-kebutan, sangat membahayakan diri sendiri, juga orang lain.
Sebatas yang saya tangkap, si ABG itu mau menerima yang saya katakan. Yah, walaupun saya tetap bisa memahami, dia tentu penasaran, sehingga sekali-kali, ingin ‘mencicipi’ dibonceng temannya naik motor. Namun, dalam bayangan saya hanya dalam jarak dekat. Misalnya, dari rumah ke tempat dia latihan futsal yang tak lebih dari dua kilometer.
Bisa dibayangkan, betapa kagetnya, ketika saya mendapat laporan dari gurunya, bahwa dia pernah diantar pulang sekolah oleh temannya, naik motor! Jarak rumah-sekolah sekitar tujuh km, dan melalui jalan raya yang cukup sering dijadikan sasaran operasi polisi. Pun, jalannya berkelak-kelok tajam, dengan tanjakan yang cukup curam. Di jalan ini, sering terjadi kecelakaan. Baik truk, bis, apalagi motor.
Saya coba membicarakan hal ini bersamanya. Reaksinya membuat saya terkejut. Dia berkata, “Aku enggak suka sama anak itu. Dia suka mengadu. Senang kalau temannya dimarahi. Pengkhianat!"
“Pengkhianat?! ” Hati saya tak karuan. Kenapa seperti itu yang ada dalam pikirannya?
"Dia tidak setia sama teman. Sering melaporkan kalau ada teman yang bertengkar, ada yang membawa hape, dan lainnya. Pokoknya biar mendapat pujian, dan puas kali kalau temannya dimarahi."
Sepertinya ada salah pengertian dalam mengartikan pengkhianat. Namun, belum sempat saya kemukakan, dia menjelaskan alasan dibonceng temannya. Hari Jumat adalah jadwal les. Dia harus sampai di rumah pukul tiga. Tapi, bis yang ditunggu tak kunjung datang. Ketika temannya menawari untuk naik motor, akhirnya dia pun mengiyakan.
“Demi les, kok, Ma,” katanya meyakinkan.
Yah, sebenarnya ada sebersit rasa tak percaya. Tapi, apa gunanya mengungkapkan rasa tak percaya ini padanya? Alih-alih hanya membuatnya sakit hati. Saya pun hanya meminta dia untuk berjanji tak mengulanginya lagi. Saya katakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Bagaimana bila celaka di jalan? Bagaimana bila ditangkap polisi? Bagaimana bila menabrak orang? Dan saya tegaskan, bahwa saya melarangnya adalah karena saya menyayanginya.
Napas panjang menjadi jeda, untuk mengalihkan pembicaraan, dan membahas masalah ‘pengkhianat’ tadi. Tak seharusnya dia menuduh temannya seperti itu. Saya contohkan yang namanya pengkhianat, dengan mengambil seting saat zaman kemerdekaan. Pengkhianat adalah apabila dia membocorkan rahasia pejuang kepada musuh. Jadi, temannya tidak bisa disebut pengkhianat. Lagipula, belum tentu temannya berniat jelek dengan melaporkan anak saya pada guru sekolah. Niat ada di dalam hati, dan kita tak tahu yang dia niatkan. Bisa jadi, niatnya baik, tak ingin anak saya celaka. Bukan karena sirik atau ingin anak saya dimarahi.
Wajah anak saya tampak menyiratkan rasa tak terima, melihat temannya yang melaporkan itu saya bela. Saya juga tidak memungkiri, ada kemungkinan, temannya memang mempunyai sifat 'senang kalau temannya dimarahi'. Perlu waktu bagi dia untuk bisa menerima, bahwa temannya bukanlah pengkhianat. Saya tegaskan kembali, bahwa kita tak boleh berprasangka buruk. Dia hanya mengangguk. Tak ada yang bisa saya lakukan lagi, selain berdoa, semoga Allah melembutkan hatinya, menerima semua ini.

Pembaca yang ingin menuliskan pengalaman mendidik anak melalui rubric Buah Hati, silakan mengirim naskah 2.500 karakter berikut foto, ke email leisure@rol.republika.co.id

2 komentar:

  1. salaam kenal Mbak, maaf nanya nih (maklum orang baru), masalah yang mirip juga sering dialami anak saya, maklum mulai ABG, tanya:
    . postingan ini yang keluar di Republika? maaf saya gak langganan.
    . boleh ya, setelah terbit diposting di blog?
    makasih

    BalasHapus
  2. Salam kenal mba vetri, iya tulisan ini yang dimuat di Republika. Boleh- boleh saja mbak diposting di blog setelah terbit, asal jangan pada saat majalah/korannya baru terbit, biar pembaca mencari dulu medianya. Kalau sudah agak lama, boleh diposting di blog sekalian arsip penulisnya. :)

    BalasHapus