Oleh Lia Herliana
Jaim, alias ‘jaga image’, atawa pencitraan, tak hanya
penting bagi kalangan selebriti, lho. Kita, para penulis, atau yang mengaku
masih ‘penulis-wanna-be’ (seperti
saya), juga perlu pandai-pandai menjaga image,
khususnya dalam pergaulan di dunia maya.
Image yang seperti apa, sih? Image,
atau citra diri sebagai penulis, tentu. Bukan sebagai tukang bubur, apalagi
putri yang tertukar.
Kenapa? Buat apa?
Hmm, alasan gampangnya, begini. Menjadi
penulis itu, berarti menjadi seorang penjual. Penjual karya, juga penjual diri.
Tentang menjual karya, saya
yakin temans semua sudah pada jago dan gape, yaa. Sudah ngelothok soal bagaimana membuat tulisan yang keren, indah
diksinya, menghibur, inspiratif, dan so on.
Buktinya, para emaks dan mbaks di IIDN Semarang, sudah banyak yang lintang
pukang, eh, malang melintang, bolak-balik menelurkan buku, maupun jadi jawara lomba nulis. Saya jadi iri,
hehehe.
Yang ingin saya bicarakan,
mengenai menjual diri. Menghadirkan sosok diri penulis yang penuh pesona, hingga semua pihak
termasuk para penerbit menjadi sungguh terpesona dan berebut ingin merengkuh
kita *hasyah. Lha, betul begitu, kan? Kalau seorang penulis mampu menjadi pribadi
yang ‘terlihat’ menyenangkan, siapapun pasti betah berinteraksi dengannya.
Saya bukanlah ahli marketing,
atau komunikasi publik. Jadi, menyoal jaim dalam rangka menjual diri ini, juga
menurut hemat saya, ya. Enggak boleh pada protes.
It’s all about: akunmu, harimaumu.
Yap. Status, tweet, komen, atau
apapun itu di dunia maya, menurut saya adalah reperesentasi diri kita. Orang
bisa melihat pribadi kita lewat segala aktivitas kita di dunia maya. Bagaimana
status kita, bagaimana cara kita bersikap lewat komen, dan sebagainya.
Menurut saya, kita adalah status kita (well, itu karena saya berangkat dari pengalaman pribadi, sih – saya di dunia nyata adalah saya di dunia maya; saya jujur apa adanya tentang diri saya sejak awal saya membuat akun. Jadi, saya anggap semua teman saya juga sama :D ).
Menurut saya, kita adalah status kita (well, itu karena saya berangkat dari pengalaman pribadi, sih – saya di dunia nyata adalah saya di dunia maya; saya jujur apa adanya tentang diri saya sejak awal saya membuat akun. Jadi, saya anggap semua teman saya juga sama :D ).
Semua orang pasti suka membaca status yang positif. “Hei, cerpenku dimuat lagi! Alhamdulillaah.” Atau, “Setrikaanku tiga gunung, nih. Tapi, novelku sudah sampai epilog. Horee!” Membacanya, pasti kita ikut bertambah semangat, kan? Yah, paling tidak jadi iri tingkat dewa-dewi, lalu dendam kesumat dan berusaha untuk menyamakan langkah.
Sebaliknya, kalau sedikit-sedikit yang kita publikasikan hanya rasa galau kacau balau, “Hiks, anakku rewel, bapaknya bawel, kapan nulisnyoo?” Sekali dua kali, mungkin orang akan bersimpati. Komen penuh dengan hug dan hugs. Tapi, kalau tiap kali angkat ‘bicara’ isinya mengeluuuh terus, galaauuu terus, duh … mana tahan? Energi negatif yang tanpa sadar kita tebar, justru membuat temans lama-lama ogah menyambangi kita. Rugi, kan?
Memang, sih, akun kita adalah mutlak hak kita. Tapi, tidakkah kita ingin menampilkan diri kita yang penuh sikap positif? Bukan berarti berwajah dua, apalagi tipu-tipu, lho ya. Hanya berusaha menjadi orang yang menyenangkan dan bermanfaat, sesuai takaran kemampuan kita. Siapapun lebih suka berdekatan dengan orang yang ramah dan ceria, dibanding yang selalu berwajah masam.
Hal lain yang tak kalah penting, ejaan kita saat menulis sesuatu di dumay. Halah, cuma status atau komen, ngapain kok repot? Saya ngetik dari hape, nih, pegal kalau harus ngetik sesuai EYD! Hihihi, saya bangeet. Tapi, alhamdulillah saya sudah mulai tobat. Berusaha untuk nulis tidak disingkat-singkat secara keterlaluan, serta memperhatikan pemakaian huruf kapital dan tanda baca. Takutnya, ada mata-mata penerbit yang nggrundel, “Katanya penulis, tapi nulis status dan komen aja enggak bener!” Hiiiy.
Last but not least, plis, janganlah ngetik dengan kecepatan tinggi,
etapi begitu dibaca hurufnya kebalik-balik. Iya, sih, enggak sengaja, tapi kalau
terus-terusan typo, apa kata duniaaa?
Percayalah, apdetan yang bertabur kesan positif, dan ditulis dengan cara yang benar dan wajar, pasti akan lebih menyehatkan mata dan batin yang membaca.
Begitulah primbon menulis saya. Tak ada maksud menggurui, hanya ingin berbagi. Apalagi sok suci, atau main hakim sendiri *apa sih, hihihi. Yap, saya bukan jago bukan ahli, jadi kalau keliroo jangan dimasukkan hati. Sekian, dan terima kasih.
betul..betul..betul..
BalasHapusyuuhuuu...bener banget Mba Lia. Saya begitu juga mba, sangat apa adanya. Sering nggasruhnya daripada benernya wkwkwk.... Suka banget cuap cuap dan narsong, tapi semoga tidak sering mengeluh di hadapan para fans bhihihiiikk...
BalasHapusRasanya ga puas kalau ga GALAU di sosmed *kabur sebelum ditimpuk buku :D
BalasHapusMakanya jarang tebar semangat "Not" positif, hihihi... kejarlah mimpi setinggi langit meski itu adalah hal yang mustahil. Hanya lewat doa n ijabah Allah SWT yang akan menentukan akhir ikhtiar tersebut. Terima kasih ide berbagi motivasi bersama mba :)
BalasHapusTengkyu aaall... Psst, sebenernya mah ini gara2 suka gimanaa gitu liat penulis yg di luar buku nulisnya suka acakadut, hehe.
BalasHapusSetujuuuu, sangat bermanfaat :D
BalasHapus